Selasa, 10 Juli 2012
Teori Spiral of Silence, Mendiamkan Nurani?
Izinkan aku memulai cerita dengan salah satu teori dalam teori komunikasi, namanya teori Spiral of Silence. Teori ini berkonteks pada Media dan Masyarakat. Teori ini merupakan anti-thesis dari asumsi bahwa komunikasi personal lebih berpengaruh daripada media. Teori ini mengatakan bahwa media dapat memiliki pengaruh yang kuat dalam perbincangan sehari-hari. Media dapat mendiamkan wacana publik terhadap topik tertentu dengan memberikan posisi mendukung satu isu melawan isu yang lain. Cara kerja teori ini dengan cara pengamatan yang dibuat dalam satu konteks (media massa) menyebar kepada yang lain dan mendorong orang untuk menyuarakan pandangan mereka (media massa) atau memilih menelannya atau diam, sehingga dalam sebuah proses yang spiral, satu pandangan dianggap mendominasi ranah publik sementara yang lain hilang dari kesadaran publik dan para pendukungnya tidak bersuara lagi. Dalam konteks teori ini, media menunjukkan kemampuan perannya sebagai fungsi edukatif.
Sayangnya, makna edukatif tidak selalu bermakna positif. Sederhananya saja, kerap kita temukan bahwa media mengajarkan hal-hal yang negatif, misalkan saja yang kita temui di sinetron, smack down, atau reality show yang gak penting yang entah apa muatan dibaliknya. Tapi, saya gak mau ngebahas lebih lanjut tentang fungsi media di sini, ditulisan ini saya ingin memberi sedikit perhatian lebih terhadap orang-orang yang terbungkam, yang terdiam karena hidup dalam kelompok yang meng-iya-kan begitu saja apa yang disampaikan media. Mereka yang mungkin saja, bukan bodoh, tetapi memiliki sudut pandang yang berseberangan dengan media. Di masyarakat yang mengagungkan persamaan seperti di Indonesia, memiliki pendapat yang berbeda, jelas merupakan anomali. Lalu, haruskah terdiam selamanya? Atau biar aman ikuti saja arusnya, tapi bagaimana dengan hati nurani? Bahkan, seseorang yang awalnya sangat kuat, mungkin pada akhirnya terdiam pula, dan hanya bisa melakukan selemah-lemah iman "mendoakan dalam hati".
Meskipun, yang dilakukan sudah benar dengan mendoakan dalam hati seperti yang disampaikan dalam Hadits ke-34 dalam Hadits Arbain yaitu, "Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya;jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu tingkatan iman paling lemah." (H.R. Muslim) namun janganlah menjadikan diam sebagai kebiasaan, karena mungkin saja mereka tidak tahu ataupun belum paham. Kalo kata salah seorang temenku, mereka temen-temen kita yang muslim, punya hak pada diri kita untuk tahu kebenaran yang telah kita ketahui. Dan bagi orang lain, terkadang mereka yang diam butuh sedikit dorongan dan kelapangan hati untuk didengarkan apa isi hati dan pikiran dari si diam. Dan, diatas segalanya, sesungguhnya aku berdoa agar kita semua mampu belajar, belajar berani menyampaikan kebenaran, belajar mampu melapangkan hati untuk menerima perbedaan, serta belajar merendahkan hati untuk mau menerima kebenaran.
Just_v not in a corner
Sumber:
Teori Komunikasi Massa (Stanley J. Baran, Dennis K. Davis)
Al-Wafi Syarah Kitab Arba'in An Nawawiyah (Dr. Musthafa Al Bugha Muhyidin Mistu)
Langganan:
Postingan (Atom)