Ema Analisia Rostiana pernah bertanya, "aku penasaran kayak apa orang yang mampu mengubah dirimu jadi kayak sekarang..."
Dwi Noviyanti pernah bilang kekurangan gw: "terlalu cuek, kurang basa basi, kalo yang gak kenal mungkin jadi gampang tersinggung, bossy, saat berdebat sangat persistent, kalo berubah (tampilan/prinsip) sangat revolusioner (bagus sih, tapi orang awam akan berpikir ini orang terpengaruh apa/aliran apa)...."
Gw pernah bingung, "apa itu baik, sudah baikkah gw?"
Dan, Sugih Maulana pernah bilang, "Siapa yang bisa bilang apa itu baik, dan menilai apakah seseorang itu baik atau nggak, daripada mencemaskan sudah baikkah kita, lebih baik pikirkan gimana caranya untuk jadi lebih baik."
Kemudian gw mencoba, karena amatir, gw melakukan kegagalan yang sangat merugikan teman-teman gw, kemudian Bicky menguatkan gw melalui sms, "gw percaya lu, meski lu melakukan kesalahan 1 ataupun seratus kali kesalahan sekalipun." (mungkin teh Sintamilia Rachmawatibisa mewakili ngemention, mengingat gw diunfriend karena suatu alasan, sebagai bentuk terimakasih gw.) Sedangkan Kasih Kisah mengatakan, jika Thomas Alfa Edison menyerah karena berkali-kali gagal mungkin kita gak akan pernah menikmati indahnya lampu menghiasi gelap.
Gw mencoba untuk bangkit lagi, memperbaiki diri lagi, bertanya, dan memutuskan untuk menjadikan hidup gw lebih berarti, hingga kemudian pada suatu malam setelah shalat isya, teh Hani Noor Ilahi Noor Ilahi bertanya kepada gw, "menurut kamu, politik itu buruk gak, jahat gak?" Dan aku menjawab dengan logika yang paling sederhana, "Jika politik itu buruk, tutup aja FISIP." Karena pikirku, jika mengatakan semua politik itu buruk, tentu tindakan yang pertama sebelum terjadi keburukan putus akar masalahnya sekalian, tutup aja FISIP sebelum mencetak penjahat, gak usah ada kuliah komunikasi politik, dst... Tapi toh, nyatanya kita masih membutuhkan, hanya perlu lebih cerdas untuk menggunakannya pada tempatnya dan sesuai takarannya.
Kemudian suatu ketika Daniel Rusyad Hamdanny pernah bertanya, "Buat apa kamu masuk BPM? Toh, malah dianggap buruk dan gak terlalu berguna dampaknya." Dan gw bilang, "Harus ada yang menyampaikan informasi tingkat universitas ke fakultas." Dan dia kembali bertanya, " Jadi, lo mau jadi pahlawan?" Gw gak menjawab, gw gak berpikir begitu, gw hanya berpikir, fikom butuh dan berhak memperoleh informasi univ.
Gw gagal menjadi penyampai informasi univ, gagal segagal-gagalnya, lagi, karena keberadaan gw di BPM bukanlah perwakilan secara konstitusi dari Senat masa itu, gw masuk lewat jalur kedua yaitu meminta dukungan via KTM teman-teman. Gw gagal, jatuh lagi, pusing bukan main....
Sugih bilang, setidaknya Alvi Rahmawati D'Aple bisa mengajarkan adik-adiknya apa itu politik. Maka itu misi gw selanjutnya. Maka peran gw di BPM waktu itu adalah mempelajari apa fungsi lembaga-lembaga politik itu, laporan dan informasi aku serahkan kepada senat, atau kalo ditolak aku tempel di mading-mading meski entah bagaimana tempelan di mading itu rusak atau hilang dalam hitungan jam.
Gw lelah, gw bingung, dan Nurida Sari Dewi bilang ke gw, "Setiap cobaan yang menghadang kita sejatinya adalah sekolah kehidupan dari Allah karena Allah ingin bertemu kita dalam kondisi mulia." Maka gw kemudian mencoba memaknai apa itu"MULIA" suatu kata yang gw tau kata itu ada, tapi gak pernah gw pikirkan maknanya lebih lanjut.
Ditahun berikutnya, gw ingin membayar "hutang" gw yang kacau balau terhadap univ ataupun fakultas, gw bertanya ke Kantry Maharani hubeks waktu itu, "ajari gw, apa yang bisa gw bantu." Dan payahnya, bukannya ngebantu aku malah bikin geger temen-temen se BEM, saking merasa bersalahnya, aku bilang ke kang Ali Akbar Mutiara , "gw gak apa-apa kalo harus datang kongres dan mengakui kesalahan gw meski pinalti konstitusi mahasiswa bisa mengenai gw." Kata kang Ali, ah Alvi lebay, tenang aja, udah beres masalahnya.... udah dijelasin duduk perkaranya dan cuma salah paham."
Gak berasa ternyata kegiatan gw secara gak sadar membuat lingkungan sosial gw di jurusan di Fikom menjauh, entah karena isu yang aku gak tau, entah karena emang gak punya waktu buat duduk manis bareng kawan-kawan sejurusan ataupun seangkatan bahkan sepermainan, agak autis kayaknya gw emang. Gw sendiri, iya, gw sendiri, gw di titik yang aneh.... gw bingung, gw capek, dan gw sendiri.... Kemudian gw mulai memaknai apa itu hubungan, dan hubungan macam apa yang ingin gw bangun. Kali ini harus dengan BENAR. Maka gw menjadikan buku sebagai referensi gw, gw baca buku kuliah, gw baca nasihat ulama, gw baca berita, gw bertanya ke orang yang menurut gw kompeten dalam berbagai dimensi keilmuan maupun pengalaman, gw menjadi penanya sekaligus orang yang paling mempertanyakan realita. Al Urwatul Wutsqojadi korban pertanyaan-pertanyaan gw menurut gw, tapi karena dia cerdas dan nyaris Hafidzah (hafal Al Qur'an dan dari kecil dididik berpedoman Al Qur'an dengan segala ilmu amal sosialnya) maka dia bisa menjawab dengan super nyantai dan menyodorkan gw pilihan sudut pandang lewat buku-bukunya. Gak cuma dia, Nur Afifah yang emang terlahir dari seorang ibu yang sangat peduli dengan pendidikan dan punya semangat belajar tinggi, menyodorkan biografi orang-orang pembelajar sekaligus pendidik terbaik, dari Hellen Keller, sampai Torey Hayden.
Kemudian, hidup gw diisi dengan kondisi nyaris mustahil ada minggu-minggu yang gak gw gunakan untuk mendatangi undangan taklim maupun seminar, meskipun kegiatan tersebut yang mengadakan anak fakultas lain, univ bahkan kampus lain. Gak masalah. Kemudian gw menyusun segala informasi dalam otak gw berdasarkan jenis dan kualitas informasi, gw berusaha membedakan apa itu asumsi, apa itu judgement, mana opini, mana fakta, mana perintah Allah dan mana realita dimasyarakat.
Dan gw menemukan bahwa ada jurang yang tak terlihat dari kondisi ideal dan realita, juga banyaknya konflik yang sebenarnya sumber masalahnya adalah SALAH PAHAM yang dalam bahasa mahasiswanya sering juga disebut miss komunikasi, atau disingkat miskom. Mungkin, ini tugas terberat seorang Public Relations dalam makna falsafahnya, yah, semua yang masuk jurusan ini pasti tau, bahwa tugas utama ilmu Public Relations adalah menjadi JEMBATAN. Iya, jembatan yang menghubungkan berbagai pihak dan keadaan untuk disatukan dalam 1 titik temu sehingga dapat menciptakan kesepahaman (mutual understanding) sehingga posisi berdiri masing-masing pihak dapat dikenali dengan jelas, mana yang bisa diajak kerjasama, mana yang enggak, kapan bisa kerjasama, kapan enggak. Maka gw bertanya apa catatan-catatan untuk menentukan hal tersebut apa bentuk deskripsi dari apa dan kapan, juga kenapa. Akhirnya gw berpikir, untuk bisa menentukan posisi orang lain, maka harus jelas dulu dimana posisi gw berdiri, dan apa tujuan gw. Gw memilih, gw memutuskan, gw pindah ke lokasi paling "angker" (mengingat bahkan gak semua orang suka tinggal disana karena suasananya bikin gak nyaman karena gak bebas, terlalu banyak aturan. Ingat, penyebabnya adalah perasaan GAK BEBAS bukan GAK BENAR, sedang yang gw cari dari awal adalah KEBENARAN) maka resiko itu bukanlah kendala yang mampu menghentikan gw, gw hanya harus memegang teguh apa yang gw pahami yang gw anggap benar, kalo gw blom paham, siapa pun gak berhak memicingkan matanya melihat gw dengan tatapan merendahkan.
Entah bagaimana, mungkin juga karena kesalahan gw yang bertubi-tubi, disisi lain, saat gw mengharapkan penjelasan justru Allah meletakkan gw untuk gak beramanah sama sekali, proses pertukaran ilmu dan ukhuwah itu cacat, gak jalan, berbulan-bulan, bahkan nyaris 1 tahun. Mungkin, jika ada yang mengatakan kenapa memutuskan keluar dari lingkaran perbaikan maka gw adalah orang yang paling berhak melakukannya, gw kehilangan teman-teman terbaik gw pada waktu, gw gak punya amanah yang mungkin bisa mengisi kolom-kolom CV atau simbol-simbol popularitas dihadapan yang diinginkan sebagian orang, dan gw gak mendapatkan hak gw hingga berbulan-bulan lamanya meski gw udah melapor kesana kemari bahkan gw membuat keributan disebuah forum yang bertugas untuk memastikan setiap orang mendapatkan haknya. Gw gak peduli, yang gw tau, sekarang gw hidup cuma dengan mengandalkan diri gw sendiri, gw menciptakan semacam manajemen konstruksi nilai dalam otak gw dengan mencoba mengaplikasikan teori yang gw pahami, iya, gw bahkan melakukan teori agenda setting terhadap kaki, mata, telinga, dan tangan gw. Iya, gw melakukan dengan sangat sadar teori pertukaran nilai dalam hidup gw, dll. Dan semuanya dengan catatan gw hanya melakukan sesuatu yang emang gak bisa didebat bahwa hal itu baik! Bagusnya gw udah terlatih dari kecil melakukan hal ini meskipun waktu itu gw gak tau apa namanya, hahaha... bahkan waktu SMP aku menyebutnya sebagai self-brainwashing.
Tapi gw tetap membaca banyak hal, gw mendengar banyak hal, gw memperhatikan banyak hal. Hingga sampai titik gw bingung, sebenarnya buat apa gw sampai segininya. Toh gw gak akan menjadi lebih pintar dibanding mereka yang udah terdidik sejak kecil tentang hal-hal yang gw baca dan pelajari (Islam, Idealisme, Sejarah, dan Manusia). Hingga akhirnya gw meluruskan kembali niat, gw hanya ingin menjadi jembatan, gw ingin mengurangi konflik-konflik yang dasarnya sesepele kurangnya ilmu, emosional semata, apalagi miskom dan parahnya cuma berdasar prasangka. Maka gw gak peduli meski kualitas gw adalah no. 10 ataupun no. 100 gw gak peduli itu, gw hanya berharap, jika dalam satu waktu dibutuhkan 10 orang yang menjelaskan hal yang sama di sepuluh tempat maka gw bisa membantu, pun jika 100 orang di 100 tempat maka gw bisa turut serta menjelaskan. Semuanya demi mengurangi konflik yang gak diperlukan, dengan menjadi sebenar-benar jembatan, dengan misi berjuang hingga tak ada lagi fitnah di muka bumi ini, dan agama hanya untuk Allah.
Dan gw sekarang, masih sama, si bodoh ceroboh yang terus dikuatkan oleh orang-orang yang Allah hadirkan dalam hidup gw untuk melakukan suatu misi untuk mengajarkan gw memaknai kehidupan sampai waktu yang Allah tentukan. Dan yang paling berharga diantara mereka adalah orang-orang yang Allah pertemukan dalam usaha meningkatkan ketakwaan kepada-Nya, dan berpisah pun dalam misi yang sama.