Kamis, 24 Oktober 2013

Legenda Gajah Terbang! - The Power The of Crowd, The Danger of The Crowd

Bismillah, gajah terbang... Yup, sekarang gw emang pengen cerita tentang gajah terbang. Berawal dari tebak-tebakan permen kurang asem dengan pertanyaan, "Gajah terbang, keliatan apanya?" dan dibalik bungkusnya ada jawaban, "keliatan boongnya." Ups, tapi kita gak akan bahas tebak-tebakan garing di sini.
Coba deh, kalo kita perhatiin, fenomena gajah terbang ini udah jadi seperti mitos yang bahkan melegenda dan dibuat replikanya di banyak tempak mulai dari permainan anak-anak, bahkan di pahat dengan cantiknya kayak gambar di bawah ini.

Gajah terbang mainan
Pahatan Gajah Terbang, Karya Pekak Oper 
Actually, gw gak tau bagaimana gajah terbang ini terus exist sampai jaman kini, hanya saja beberapa hari yang lalu gw menemukan kisah tentang bagaimana cerita gajah terbang yang melegenda tersebut dari sebuah buku karya Hanum Salsabiela Rais dengan judul Berjalan di Atas Cahaya. Check this out gan!

......"Kau tahu cerita tentang gajah terbang, hanum?" tanya Xiao Wei tiba-tiba.
Saya menggeleng. Kembali saya kebingungan. Ada hubungan apa gajah dengan kafe?
"Bayangkan ketika di suatu jalan yang ramai, tiba-tiba seseorang berteriak lantang, 'Lihat! Ada gajah terbang di langit!'
"Semua orang mendongak, tapi tak melihat apa pun. Lalu orang tadi mengatakan, 'Ya Tuhan, apakah kalian punya penyakit mata atau bagaimana? Masa gajah sebesar itu tidak bisa kalian lihat?'
"Lalu, satu demi satu orang-orang mulai mengaku melihat si gajah dan ikut-ikutan berteriak lantang. 'Ya, aku melihatnya. Gajahnya berwarna putih.' Tak mau kalah, orang yang lain menambahkan, 'Ya Tuhan, lihatlah! Ada penunggang di atas gajah itu!' Lalu orang-orang bersahut-sahutan bahwa mereka menyaksikan apa yang orang lain juga saksikan. Jika kau menjadi salah seorang yang berkerumun tadi, apa yang akan kaukatakan, Hanum ? "

"Jelas aku tidak akan ikut-ikutan, Xiao Wei. Aku akan mengatakan yang sejujurnya. Kalau memang tak ada gajah putih terbang bersama penunggangnya di langit, mengapa aku harus ikut-ikutan? Itu pembodohan," saya menjawab sambil terus bertanya-tanya mengapa Xiao Wei mengajukan pertanyaan aneh ini.
"Jawabannya belum tentu, Hanum. Kalau kau berada dalam situasi tadi, kau akan ragu. Ragu apakah matamu memang tak melihat apa-apa, atau apakah matamu sakit seperti kata orang tadi sehingga kau tak bisa melihat apa-apa.Ragu jika kita menyerukan kau tak melihat apa-apa, kau akan menerima konsekuensi dianggap bodoh atau sakit mata oleh orang lain. Jika kau diam atau ikut-ikutan berteriak bahwa dirimu melihat si gajah terbang, kau melukai nuranimu. Akhirnya kau akan terbawa arus keramaian orang. Mau tak mau kau juga akan bilang kau melihat gajah terbang itu walaupun dengan berat hati karena dirimu sesungguhnya tak melihat apapun, bahkan melihat lalat terbang pun tidak."
"Terus apa maksudmu? akhirnya saya bertanya. Saya gagal mencoba memahaminya.
"Kau hanya ikut-ikutan orang yang emngantre. Seolah-olah hanya satu kafe yang makanannya enak. Kopinya nikmat. Ruangannya nyaman. Harganya miring. Dan sebagainya. Padahal, sekarang tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah benar itu pendapatmu sendiri?"
"Xiao Wei, perempuan muda berusia 22 tahun ini, membuat saya bertanya pada diri sendiri.
Sungguh, jika dipikir-pikir saya memang tak tahu apa yang membuat saya selalu mengajaknya ke kafe yang sama untuk program tandem partner. Padahal, ada kafe lain yang tak kalah nikmat kopinya, rotinya mantap, tempatnya nyaman, harganya bersaing, apalagi ada koneksi hot-spot juga. Dan, yang elbih penting, kami bisa merasakan hubungan antara penjual dan pembeli yang tidak hanya "berakhir di meja kasir", melainkan sampai pelanggan meninggalkan kafe. Mereka senantiasa bertanya apakah makanan yang disajikan enak, minuman yang dipesan enak, dan apa yang bisa mereka lakukan untuk membuat kita lebih nyaman.
"Oke, besok kita cari tempat tandem baru. Setiap kali kita harus mencari tempat baru," saya menjawab bersemangat.
"Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku Xiao Wei. Kita kembali ke pertanyaan dasarku. Mengapa kau mau berteman denganku? Kau lihat, kemarin teman-temanmu melihatku dengan pandangan sinis saat aku menjemputmu di kampus. Dan agaknya mereka menertawaimu, karena kau berteman dengan muslimah berjilbab (latar kota Wina, Austria, Eropa). Apalagi usiamu dan usiaku terpaut sangat jauh," saya berusaha mengembalikan pembicaraan yang semakin melantur dengan fenomena gajah terbang tadi.
"Kau belum paham juga, Hanum," jawab Xiao Wei. Dia meraih kedua tangan saya dan menggenggamnya.
"Aku harus jujur padamu. Saat pertama kali bertemu denganmu, aku kaget. Aku tak menyangka selama ini aku bertelepon dengan perempuan berjilbab. Muslim dibilang teroris. Muslim itu suka kekerasan. Perempuan muslim itu terbelakang dengan hijabnya. Perempuan Muslim itu rigid dan sebagainya. Itu yang dikatakan di koran, TV, bahkan di kampusku. Aku benar-benar malas melihatmu, awalnya."
Xiao Wei tersenyum. Dia masih menggenggam erat tangan saya, seperti memberi spirit orang yang hendak pergi jauh.
" Tapi aku tak mau menjadi orang-orang yang mengatakan bahwa di langit ada gajah terbang padahal aku sama sekali tak melihatnya, Hanum.
"Aku ingin menjadi orang yang pertama kali mengatakan tak ada gajah terbang di langit. Aku akan katakan, hanya orang-orang tak berpendirian, tak mau berpikir, dan takut menyatakan kebenaranlah yang melihat gajah terbang," tandas Xiao Wei.
Kata-kata Xiao Wei menyentuh hati saya. Saya mulai mengerti apa maksud kata-katanya.
"Aku tak melihat semua keburukan yang orang-orang katakan tentang muslim dalam dirimu, Hanum. Mereka semua mengatakan hal yang belum pernah mereka lihat. Mereka berpikir hanya berdasar kata TV yang mereka tonton. Kata koran yang mereka baca. Kata orang lain tanpa pernah mengalaminya sendiri.
"Ketika semakin mengenalmu, aku tahu kau sama sekali berbeda. Aku sangat nyaman belajar tandem denganmu. Kau cepat paham. Cepat belajar. Kau sabar dalam mengajariku bahasa Inggris. Kaubawakan aku masakan Indonesia. Kau ajak aku ke acara-acara suamimu suamimu sehingga aku bisa mempraktikan bahasa Inggrisku. Bahkan kau mengajariku bermain piano di apartemenmu. Kau tahu, aku ingin sekali bisa bermain musik.
"Tiga kali sudah aku berganti partner tandem dengan orang Australia, dengan orang AMerika, dan orang Kanada. Tapi program tandem kami hanya bertahan sekali pertemuan. Entahlah, mungkin mereka tak tahan dengan bahasa Inggrisku yang lebih buruk daripada orang bisu. Lalu aku membaca iklanmu dan meneleponmu. Dan hingga kini kita masih berteman terus."
"Saya melepaskan genggaman Xiao Wei. Kini gantian saya yang menggenggam erat kedua tangannya. Kepala saya tundukkan. Saya benar-benar tak bisa mengucapkan satu kaata pun. Kini saya benar-benar paham.
Rasa penasaran Xiao Wei hilang sudah. Dia telah menyadarkan saya tentang betapa gampangnya kita terpengaruh orang lain padahal kita belum pernah melihat sendiri. Terlalu mudah kita mengelu-elukan orang bahwa bahwa dia adalah calon pemimpin yang hebat, calon orang kuat yang bisa menyejahterakan rakyat, dan sebagainya. Padahal kalau dirunut-runut kembali, apa yang kita pikirkan hanyalah ikut-ikutan. Atau sebaliknya, kita melihat orang yang dianggap sebagian besar orang sebagai orang orang yang tidak berkemampuan, tidak capable, padahal di balik semua itu dia menyimpan segala kebolehan yang belum pernah terbuktiu dengan mata kepala kita sendiri.
Sama dengan keadaan saya kali itu. Publik yang telah digosok media tanpa pernah mencari pembanding dan secara gegabah menghakimi dan mencap semua Muslim sebagai teroris adalah mereka yang mengaku melihat gajah terbang. Kini saya baru, perumpamaan Xiao Wei ini dikenal dengan the power of the Crowd, the danger of the crowd."Jadi Hanum, sekarang aku ganti bertanya padamu. Mengapa kau masih mau berteman denganku?" tanya Xiao Wei dengan senyumnya yang tulus.
Saya membalasnya dengan sunyuman. Dia tahu jelas apa jawaban saya. Saya tak mau jadi penonton Gajah terbang.

 Jadi, kamu mau jadi yang mana? Rela jadi penonton Gajah Terbangkah? Atau .... (Mau jadi yang manapun, kamu yang tentukan....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar