Senin, 21 Desember 2015

Who Am I?

Ema Analisia Rostiana pernah bertanya, "aku penasaran kayak apa orang yang mampu mengubah dirimu jadi kayak sekarang..."
Dwi Noviyanti pernah bilang kekurangan gw: "terlalu cuek, kurang basa basi, kalo yang gak kenal mungkin jadi gampang tersinggung, bossy, saat berdebat sangat persistent, kalo berubah (tampilan/prinsip) sangat revolusioner (bagus sih, tapi orang awam akan berpikir ini orang terpengaruh apa/aliran apa)...."
Gw pernah bingung, "apa itu baik, sudah baikkah gw?"
Dan, Sugih Maulana pernah bilang, "Siapa yang bisa bilang apa itu baik, dan menilai apakah seseorang itu baik atau nggak, daripada mencemaskan sudah baikkah kita, lebih baik pikirkan gimana caranya untuk jadi lebih baik."
Kemudian gw mencoba, karena amatir, gw melakukan kegagalan yang sangat merugikan teman-teman gw, kemudian Bicky menguatkan gw melalui sms, "gw percaya lu, meski lu melakukan kesalahan 1 ataupun seratus kali kesalahan sekalipun." (mungkin teh Sintamilia Rachmawatibisa mewakili ngemention, mengingat gw diunfriend karena suatu alasan, sebagai bentuk terimakasih gw.) Sedangkan Kasih Kisah mengatakan, jika Thomas Alfa Edison menyerah karena berkali-kali gagal mungkin kita gak akan pernah menikmati indahnya lampu menghiasi gelap.
Gw mencoba untuk bangkit lagi, memperbaiki diri lagi, bertanya, dan memutuskan untuk menjadikan hidup gw lebih berarti, hingga kemudian pada suatu malam setelah shalat isya, teh Hani Noor Ilahi Noor Ilahi bertanya kepada gw, "menurut kamu, politik itu buruk gak, jahat gak?" Dan aku menjawab dengan logika yang paling sederhana, "Jika politik itu buruk, tutup aja FISIP." Karena pikirku, jika mengatakan semua politik itu buruk, tentu tindakan yang pertama sebelum terjadi keburukan putus akar masalahnya sekalian, tutup aja FISIP sebelum mencetak penjahat, gak usah ada kuliah komunikasi politik, dst... Tapi toh, nyatanya kita masih membutuhkan, hanya perlu lebih cerdas untuk menggunakannya pada tempatnya dan sesuai takarannya.
Kemudian suatu ketika Daniel Rusyad Hamdanny pernah bertanya, "Buat apa kamu masuk BPM? Toh, malah dianggap buruk dan gak terlalu berguna dampaknya." Dan gw bilang, "Harus ada yang menyampaikan informasi tingkat universitas ke fakultas." Dan dia kembali bertanya, " Jadi, lo mau jadi pahlawan?" Gw gak menjawab, gw gak berpikir begitu, gw hanya berpikir, fikom butuh dan berhak memperoleh informasi univ.
Gw gagal menjadi penyampai informasi univ, gagal segagal-gagalnya, lagi, karena keberadaan gw di BPM bukanlah perwakilan secara konstitusi dari Senat masa itu, gw masuk lewat jalur kedua yaitu meminta dukungan via KTM teman-teman. Gw gagal, jatuh lagi, pusing bukan main....
Sugih bilang, setidaknya Alvi Rahmawati D'Aple bisa mengajarkan adik-adiknya apa itu politik. Maka itu misi gw selanjutnya. Maka peran gw di BPM waktu itu adalah mempelajari apa fungsi lembaga-lembaga politik itu, laporan dan informasi aku serahkan kepada senat, atau kalo ditolak aku tempel di mading-mading meski entah bagaimana tempelan di mading itu rusak atau hilang dalam hitungan jam.
Gw lelah, gw bingung, dan Nurida Sari Dewi bilang ke gw, "Setiap cobaan yang menghadang kita sejatinya adalah sekolah kehidupan dari Allah karena Allah ingin bertemu kita dalam kondisi mulia." Maka gw kemudian mencoba memaknai apa itu"MULIA" suatu kata yang gw tau kata itu ada, tapi gak pernah gw pikirkan maknanya lebih lanjut.
Ditahun berikutnya, gw ingin membayar "hutang" gw yang kacau balau terhadap univ ataupun fakultas, gw bertanya ke Kantry Maharani hubeks waktu itu, "ajari gw, apa yang bisa gw bantu." Dan payahnya, bukannya ngebantu aku malah bikin geger temen-temen se BEM, saking merasa bersalahnya, aku bilang ke kang Ali Akbar Mutiara , "gw gak apa-apa kalo harus datang kongres dan mengakui kesalahan gw meski pinalti konstitusi mahasiswa bisa mengenai gw." Kata kang Ali, ah Alvi lebay, tenang aja, udah beres masalahnya.... udah dijelasin duduk perkaranya dan cuma salah paham."
Gak berasa ternyata kegiatan gw secara gak sadar membuat lingkungan sosial gw di jurusan di Fikom menjauh, entah karena isu yang aku gak tau, entah karena emang gak punya waktu buat duduk manis bareng kawan-kawan sejurusan ataupun seangkatan bahkan sepermainan, agak autis kayaknya gw emang. Gw sendiri, iya, gw sendiri, gw di titik yang aneh.... gw bingung, gw capek, dan gw sendiri.... Kemudian gw mulai memaknai apa itu hubungan, dan hubungan macam apa yang ingin gw bangun. Kali ini harus dengan BENAR. Maka gw menjadikan buku sebagai referensi gw, gw baca buku kuliah, gw baca nasihat ulama, gw baca berita, gw bertanya ke orang yang menurut gw kompeten dalam berbagai dimensi keilmuan maupun pengalaman, gw menjadi penanya sekaligus orang yang paling mempertanyakan realita. Al Urwatul Wutsqojadi korban pertanyaan-pertanyaan gw menurut gw, tapi karena dia cerdas dan nyaris Hafidzah (hafal Al Qur'an dan dari kecil dididik berpedoman Al Qur'an dengan segala ilmu amal sosialnya) maka dia bisa menjawab dengan super nyantai dan menyodorkan gw pilihan sudut pandang lewat buku-bukunya. Gak cuma dia, Nur Afifah yang emang terlahir dari seorang ibu yang sangat peduli dengan pendidikan dan punya semangat belajar tinggi, menyodorkan biografi orang-orang pembelajar sekaligus pendidik terbaik, dari Hellen Keller, sampai Torey Hayden.
Kemudian, hidup gw diisi dengan kondisi nyaris mustahil ada minggu-minggu yang gak gw gunakan untuk mendatangi undangan taklim maupun seminar, meskipun kegiatan tersebut yang mengadakan anak fakultas lain, univ bahkan kampus lain. Gak masalah. Kemudian gw menyusun segala informasi dalam otak gw berdasarkan jenis dan kualitas informasi, gw berusaha membedakan apa itu asumsi, apa itu judgement, mana opini, mana fakta, mana perintah Allah dan mana realita dimasyarakat.
Dan gw menemukan bahwa ada jurang yang tak terlihat dari kondisi ideal dan realita, juga banyaknya konflik yang sebenarnya sumber masalahnya adalah SALAH PAHAM yang dalam bahasa mahasiswanya sering juga disebut miss komunikasi, atau disingkat miskom. Mungkin, ini tugas terberat seorang Public Relations dalam makna falsafahnya, yah, semua yang masuk jurusan ini pasti tau, bahwa tugas utama ilmu Public Relations adalah menjadi JEMBATAN. Iya, jembatan yang menghubungkan berbagai pihak dan keadaan untuk disatukan dalam 1 titik temu sehingga dapat menciptakan kesepahaman (mutual understanding) sehingga posisi berdiri masing-masing pihak dapat dikenali dengan jelas, mana yang bisa diajak kerjasama, mana yang enggak, kapan bisa kerjasama, kapan enggak. Maka gw bertanya apa catatan-catatan untuk menentukan hal tersebut apa bentuk deskripsi dari apa dan kapan, juga kenapa. Akhirnya gw berpikir, untuk bisa menentukan posisi orang lain, maka harus jelas dulu dimana posisi gw berdiri, dan apa tujuan gw. Gw memilih, gw memutuskan, gw pindah ke lokasi paling "angker" (mengingat bahkan gak semua orang suka tinggal disana karena suasananya bikin gak nyaman karena gak bebas, terlalu banyak aturan. Ingat, penyebabnya adalah perasaan GAK BEBAS bukan GAK BENAR, sedang yang gw cari dari awal adalah KEBENARAN) maka resiko itu bukanlah kendala yang mampu menghentikan gw, gw hanya harus memegang teguh apa yang gw pahami yang gw anggap benar, kalo gw blom paham, siapa pun gak berhak memicingkan matanya melihat gw dengan tatapan merendahkan.
Entah bagaimana, mungkin juga karena kesalahan gw yang bertubi-tubi, disisi lain, saat gw mengharapkan penjelasan justru Allah meletakkan gw untuk gak beramanah sama sekali, proses pertukaran ilmu dan ukhuwah itu cacat, gak jalan, berbulan-bulan, bahkan nyaris 1 tahun. Mungkin, jika ada yang mengatakan kenapa memutuskan keluar dari lingkaran perbaikan maka gw adalah orang yang paling berhak melakukannya, gw kehilangan teman-teman terbaik gw pada waktu, gw gak punya amanah yang mungkin bisa mengisi kolom-kolom CV atau simbol-simbol popularitas dihadapan yang diinginkan sebagian orang, dan gw gak mendapatkan hak gw hingga berbulan-bulan lamanya meski gw udah melapor kesana kemari bahkan gw membuat keributan disebuah forum yang bertugas untuk memastikan setiap orang mendapatkan haknya. Gw gak peduli, yang gw tau, sekarang gw hidup cuma dengan mengandalkan diri gw sendiri, gw menciptakan semacam manajemen konstruksi nilai dalam otak gw dengan mencoba mengaplikasikan teori yang gw pahami, iya, gw bahkan melakukan teori agenda setting terhadap kaki, mata, telinga, dan tangan gw. Iya, gw melakukan dengan sangat sadar teori pertukaran nilai dalam hidup gw, dll. Dan semuanya dengan catatan gw hanya melakukan sesuatu yang emang gak bisa didebat bahwa hal itu baik! Bagusnya gw udah terlatih dari kecil melakukan hal ini meskipun waktu itu gw gak tau apa namanya, hahaha... bahkan waktu SMP aku menyebutnya sebagai self-brainwashing.
Tapi gw tetap membaca banyak hal, gw mendengar banyak hal, gw memperhatikan banyak hal. Hingga sampai titik gw bingung, sebenarnya buat apa gw sampai segininya. Toh gw gak akan menjadi lebih pintar dibanding mereka yang udah terdidik sejak kecil tentang hal-hal yang gw baca dan pelajari (Islam, Idealisme, Sejarah, dan Manusia). Hingga akhirnya gw meluruskan kembali niat, gw hanya ingin menjadi jembatan, gw ingin mengurangi konflik-konflik yang dasarnya sesepele kurangnya ilmu, emosional semata, apalagi miskom dan parahnya cuma berdasar prasangka. Maka gw gak peduli meski kualitas gw adalah no. 10 ataupun no. 100 gw gak peduli itu, gw hanya berharap, jika dalam satu waktu dibutuhkan 10 orang yang menjelaskan hal yang sama di sepuluh tempat maka gw bisa membantu, pun jika 100 orang di 100 tempat maka gw bisa turut serta menjelaskan. Semuanya demi mengurangi konflik yang gak diperlukan, dengan menjadi sebenar-benar jembatan, dengan misi berjuang hingga tak ada lagi fitnah di muka bumi ini, dan agama hanya untuk Allah.
Dan gw sekarang, masih sama, si bodoh ceroboh yang terus dikuatkan oleh orang-orang yang Allah hadirkan dalam hidup gw untuk melakukan suatu misi untuk mengajarkan gw memaknai kehidupan sampai waktu yang Allah tentukan. Dan yang paling berharga diantara mereka adalah orang-orang yang Allah pertemukan dalam usaha meningkatkan ketakwaan kepada-Nya, dan berpisah pun dalam misi yang sama.

Selasa, 16 Juni 2015

Yusuf Nada #Prison3


dakwatuna.com – Dia cerdas memahami pikiran dan bahasa orang. Dalam dunia yang penuh ambigu, kita semua beruntung jika memiliki penerjemah. Pesan Yusuf sederhana, namun dalam, ‘Hidup dan biarkan hidup’. Untuk keadilan dan demokrasi itu, dia berkali-kali memertaruhkan nyawanya.

Berikut cuplikan tutur Yusuf tentang 60 tahun menjadi anggota Ikhwanul Muslimin (IM) dan memediasi berbagai Negara dan faksi. Hampir di tiap peristiwa besar dunia Islam, Yusuf berada di belakang layar, memastikan pilihan yang diambil, yang minimal menumpahkan darah.
“Semua tugas mediasi saya terima dari Mursyid’ Am,” jelasnya lugas. Tinggal berpindah negara setelah keluar dari penjara dan menjauh dari represi rezim Jamal Abdul Nasser yang menyesakkan, Yusuf membangun jaringan bisnis yang terangkai dari Eropa sampai Afrika dan Asia.

Prinsipnya, tugas mediasi untuk Allah. Bisnis hal terpisah. Walau penguasa Yaman menawarkan 5% keuntungan Bank Islam untuk Yusuf karena dia baru saja memediasi Yaman dengan Arab Saudi terkait perbatasan, Yusuf menolak.

“Saya mengeluarkan puluhan ribu dollar untuk mendapatkan dokumen asli dan resmi terkait perbatasan Arab Saudi dan Yaman. Dari kantong sendiri. Mediasi ini biar Allah yang membayar,” jelasnya.

Balada Itsar di Trans Jakarta



Bismillah, beberapa hari yang lalu sekembalinya dari Jakarta menuju Jatinangor seperti biasa, gw memilih trans Jakarta sebagai kendaraan yang akan mengantar menuju shelter bus prima jasa. Jarak yang ditempuh menuju halte BKN dari halet Tanjung Priok kalo gak macet menghabiskan waktu 1 jam, lebih2kalo macet bisa sampai 2 jam... Hari itu sudah siang, pukul 14.00 kurang lebihnya, beruntung saat memasuki bus trans jakarta masih mendapati kursi kosong, maka gw bisa duduk tenang. Kenapa gw sebut beruntung? Karena gw termasuk dalam kategori yang sulit menjaga keseimbangan badan jika harus berdiri dalam kendaraan, terlebih gw emang gampang mabuk kendaraan khususnya pada mobil. Maka, mendapatkan tempat duduk adalah suatu keindahan tersendiri karena artinya gw bisa tidur karena hari sebelumnya, gw juga kurang enak badan....

Namun, dihalte berikutnya bis mulai penuh terdapat 2 orang tua yang gak mendapatkan tempat duduk, kasihan dalam hati, tapi menjaga diri sendiri supaya gak ambruk (memilih duduk di lantai bus) prosentase keberhasilannya mungkin gak lebih dari 50% lebih sering mual dan pusing, dan ngerepotin orang lain... krik....payah banget gw emang kalo pake angkutan umum.... berpikirlah panjang... 15 menit mungkin, sampai akhirnya tiba2gw teringat kisah itsar sahabat rasulullah saat perang yang memilih itsar (mendahulukan saudaranya) saat diberi air minum, dan menjawab, "berikan pada saudaraku yang disebelah, dia lebih membutuhkan." Saat dihantarkan ke orang yang dituju pun, jawabannya sama, "berikan pada saudaraku yang disebelah, dia lebih membutuhkan.", begitupun dengan yang ketiga, "berikan pada saudaraku yang disebelah, dia lebih membutuhkan." Hingga akhirnya kembali pada orang yang pertama dan didapati telah meningga, begitu seterusnya hingga yang ketiga.... Itulah contoh sebaik2itsar... Kalaulah mau menyangkal itu hanya ada jaman rasul, maka Yusuf Nada pernah mengisahkan pengalamannya semasa di Penjara yaitu

Jumat, 24 April 2015

Cita-cita dan melankolisme


Bismillah, gw pernah uji coba ke beberapa teman terdekat gw, percayakah mereka kalo gw seorang melankolis? Pantaskah gw menjadi seorang melankolis?

Hasilnya, sebagian tertawa terbahak dengan pertanyaan gw, sebagian percaya tapi di sisi lain gw dianggap gak pantas berkarakter melankolis. Intinya sebagian besar mereka gak percaya.... Well, karena yang dijadikan uji sample adalah teman sekampus gw, maka wajar mereka gak percaya. Mengingat gw dengan sadar sedari awal kuliah berhubung gw kuliah di Fikom dengan segala hingar bingarnya yang terkadang membuat diri yakin mahasiswa yang kuliah di Fikom secara lingkungan membuat karakter sanguinis menjadi dominan. Maka, karakter koleris melankolis, akan sangat sulit untuk diterima, maka gw berujar di tahun2berikutnya kalo mau bertahan di fikom unpad, jadilah sanguinis karena lingkungan ini lebih mudah untuk menerima karakter itu dari pada yang lain, meski hanya ciptaan, basa-basi atau sopan santun.


Senin, 16 Februari 2015

Penghianat!

Bismillah, tulisan ini terinspirasi dari film pinochio, drama korea yang mengisahkan kehidupan reporter. Seperti yang kita tahu bahwa reporter memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Bahkan, jika dalam prinsip komunikasi ada dimensi hubungan dan dimensi isi, maka yang harus didahulukan adalah dimensi isi. Maka, selayaknya takdir memang berjalan, yang namanya kebenaran akan selalu bergesekan dengan kesalahan. Ada banyak jenis kesalahan didunia ini, tapi tak sedikit pula orang yang memperbaiki diri. Maka bersyukurlah orang yang bisa memperbaiki diri, atau dalam islam, kita diajarkan untuk bertobat hingga Allah memberi nama salah satu surat dalam kitab sucinya At-Taubah dan buat saya itu hal yang hebat.