Senin, 16 Februari 2015

Penghianat!

Bismillah, tulisan ini terinspirasi dari film pinochio, drama korea yang mengisahkan kehidupan reporter. Seperti yang kita tahu bahwa reporter memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Bahkan, jika dalam prinsip komunikasi ada dimensi hubungan dan dimensi isi, maka yang harus didahulukan adalah dimensi isi. Maka, selayaknya takdir memang berjalan, yang namanya kebenaran akan selalu bergesekan dengan kesalahan. Ada banyak jenis kesalahan didunia ini, tapi tak sedikit pula orang yang memperbaiki diri. Maka bersyukurlah orang yang bisa memperbaiki diri, atau dalam islam, kita diajarkan untuk bertobat hingga Allah memberi nama salah satu surat dalam kitab sucinya At-Taubah dan buat saya itu hal yang hebat.



Hanya saja pertanyaannya, apakah seseorang bisa memperbaiki diri jika ia tidak pernah mengetahui kesalahannya? Bagaimana kebenaran seharusnya? Awalnya kemarin di kumpul pekanan, saya ingin menanyakan, apakah kalimat "sampaikanlah kebenaran meski itu pahit" merupakan deskripsi dari si penerima kebenaran, atau si penyampai kebenaran. Tapi seingat saya ust. salim a fillah pernah menyatakan, bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah kepahitan bagi si penyampai kebenaran, Yah, di film ini dicontohkan si reporter tetap melaporkan kejahatan yang dibuat kakaknya sendiri, dan memintanya untuk menyerahkan diri. Padahal, dia bisa saja diam, padahal mereka telah berpisah selama 13 tahun tanpa tau keberadaan masing-masing, padahal mereka sangat saling menyayangi. Pahit bagi adiknya? Sangat! Tapi kalo memperhatikan cerita ini, justru hubungan mereka membaik setelah kakaknya dipenjara dan mereka menjadi layaknya adik kakak yang luar biasa dalam saling mengingatkan.

Tapi, apa kebenaran hanya meminta hal itu saja? Kebenaran selanjutnya meminta keberanian seseorang, meski taruhannya disebut penghianat, dijauhi teman, di benci masyarakat, hingga mungkin masa depanmu hancur. Begitu kisah Choi In Ha yang dengan berani menyerahkan bukti kejahatan atasannya sendiri, ibunya, dan segala resiko yang harus diterima penghianat harus ditangunggnya.

Awalnya gw gak ngerti kenapa respon ini bisa terjadi, banyak yg gak gw mengerti tentang manusia, dan hidup di Jawa dengan segala tradisinya berhasil bikin gw kesal seumur hidup saat menanyakan sesuatu jawabannya mostly "ora ilok" (gak baik) dan saat aku tanya kenapa, mereka hanya menjawab kurang lebih ora ilok. Aku gak ngerti. Dan aku pusing setangah mati, percayalah aku orang yang bisa mengingat pertanyaan yang aku anggap penting tentang sesuatu dan g akan melupakannya meski bertahun2, tapi aku bukan pendendam, aku hanya ingin tau jawabannya.

Dulu saat seseorang bertanya, kenapa memilih fakultas ilmu komunikasi? Suatu yang gak tenar dan juga gak prestisius bagi keluargaku. Dalam pikiranku cuma ada 2 hal yang akan terus dilakukan manusia dan begitu mengerikan dampaknya dan salah satunya komunikasi. Karena aku melihat sendiri sejak aku masih TK, dampak kalimat tidak menyenangkan, dampak pengucilan, bullying, dan segala masalah yang kemudian meski terjadi di masa kecil dampaknya menjadi hal yang mempengaruhi sikap seseorang saat dewasa, saat menjadi pemimpin dunia ini. Setidaknya pemimpin bagi dirimu sendiri. Mulut ringan itu, sangat mengerikan. Bahkan di saat duduk di bangku SMA gw pernah mengalami debat di kelas. Terjadi perdebatan yang hebat, tapi sehat. Pada kebanyak orang fokus saat menonton debat adalah siapa yang menang dan yang kalah. Tapi saat itu, aku tau dataku ada yang salah, asumsiku kurang tepat dan aku mendukung data lawan. Seketika, temen sekelompokku protes, seketika guru bertanya, kenapa? Jangan kalian bayangkan gw adalah orang yang mulia, gw hanya entah kenapa saat gw melihat kebenaran otak gw seketika tenang, meski di hati sangat-sangat menyakitkan. Gw cukup tau apa artinya susah mendapatkan kelompok akibat gw melakukannya. Tapi dihadapan barisan ilmu pengetahuan, gw cuma gak mau merusaknya dan mengurangi kredibilitasnya, karena aku takut, jikapun aku menang dengan cara kukuh dan menambah argumen lainnya. Aku akan tersadar bahwa kebenaran telah hilang ditelan rasa ingin menang yang bukan saatnya. Maka, aku takut aku harus berpegangan pada apa, sedang tak ada orang yang bisa aku tanya, gak ada, sungguh gak ada, meski untuk membedakan baik dan buruk, setidaknya ilmu pengetahuan menenangkanku dan menjadi petunjuk benar dan salah. Maka, jika aku berbohong dan hanya yang penting menang, aku gak tau lagi harus berpegangan pada apa saat itu. Aku sulit membedakan baik dan buruk untuk bisa diterima, dengan nyaman, maka apakah gw harus kehilangan kebenaran? Dan aku benci aku gak mengerti kenapa manusia begitu?

Dan, saat aku sadar kebenaranku bisa sangat menyakitkan, maka gw memutuskan masuk jurusan ilmu humas. Kita tahu bersama, banyak kebenaran yang ditolak karena caranya yang gak baik. Di sini saya belajar bagaimana dampak suatu komunikasi terhadap seseorang. Bagaimana mencoba memastikan setiap pesan yang kita berikan diterima sesuai yang kita harapkan. Tapi, lagi2reputasi humas dihancurkan oleh humas2yang gak bertanggung jawab, yang membuat kesan pencitraan menjadi buruk. Aku kesal setiap kali menonton atau mendengarkan berita, orang2mengatakan biasa itu mah "pencitraan". Sedangkan buat gw, pencitraan yang tidak berdasarkan pada kebenaran dan fakta adalah penipuan bukan pencitraan. Citra yang baik seharusnya menjadi bonus setelah lu berjuang, bersusah payah melakukan suatu kebaikan, Mungkinkah ini efek hedonisme? Bisa jadi! Dari pada menyalahkan personal aku lebih suka mengusut ide dibalik kepalanya kenapa sampai begitu. Oleh karena itu gw suka filsafat dan materi akidah. Aku pengen menemukan batas2dan ciri2saat pikiran menumpul dan hati tergelincir. Ada apa? Ketemu jebakan apa? kenapa bisa hancur begitu? Kenapa bisa tampak indah? Seindah itukah? Atau malah rapuh di dalam? Kadang gw bertanya sama diri gw sendiri, penghianatkah gw terhadap banyak orang? Tapi apa gunanya berpihak jika tau itu salah? Meski gw belajar keras untuk bisa menyampaikannya dengan baik sesuai teknik humas. Buat gw, buat apa keindahan kalo di dalamnya rapuh atau rusak? Mungkin bisa menipu mata manusia, tapi tak ada yang bisa menipu waktu, suatu saat sesuatu itu akan hancur dengan sendirinya karena kerapuhan dan kerusakannya. Dari dalam, meski kamu diam. Tapi buatku jauh lebih baik aku bilang ada yang salah, mari kita perbaiki dan mari ciptakan keindahan yang lebih hebat dengan kekokohan yang ditopang kebenaran. Meski artinya kita harus menghancurkan terlebih dulu jika diperlukan untuk membangun yang lebih hebat. Seperti kondisi rumah, rumah bisa cukup direnovasi jika yang bermasalah bukanlah prinsip dasarnya atau fondasinya, tapi jika itu yang terjadi mari kita perbaiki, bahkan jika mungkin kalo awalnya fondasi cuma untuk 1 rumah berbahan kayu dengan 1 lantai, kita bisa ganti dengan fondasi yang tahan gempa dan mampu menopang beberapa lantai. Keuntungan yang pertama, kita bisa terhindar dari masalah di masa mendatang, keuntungan kedua kita bisa belajar dari kesalahan. keuntungan ketiga, kita sadar kita manusia, keuntungan keempat kita punya kesempatan membangun sesuatu yang lebih hebat. Pertanyaannya, apa gw terlalu muluk?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar