Jumat, 24 April 2015

Cita-cita dan melankolisme


Bismillah, gw pernah uji coba ke beberapa teman terdekat gw, percayakah mereka kalo gw seorang melankolis? Pantaskah gw menjadi seorang melankolis?

Hasilnya, sebagian tertawa terbahak dengan pertanyaan gw, sebagian percaya tapi di sisi lain gw dianggap gak pantas berkarakter melankolis. Intinya sebagian besar mereka gak percaya.... Well, karena yang dijadikan uji sample adalah teman sekampus gw, maka wajar mereka gak percaya. Mengingat gw dengan sadar sedari awal kuliah berhubung gw kuliah di Fikom dengan segala hingar bingarnya yang terkadang membuat diri yakin mahasiswa yang kuliah di Fikom secara lingkungan membuat karakter sanguinis menjadi dominan. Maka, karakter koleris melankolis, akan sangat sulit untuk diterima, maka gw berujar di tahun2berikutnya kalo mau bertahan di fikom unpad, jadilah sanguinis karena lingkungan ini lebih mudah untuk menerima karakter itu dari pada yang lain, meski hanya ciptaan, basa-basi atau sopan santun.



Meski demikian, proses penciptaan karakter ketiga untuk bisa mengimbangi 2 karakter awal dominan mengalami goncangan yang sangat rumit bagi gw untuk memilih bersikap. Hal ini dikarenakan gw sadar gak semua orang mau dengan repot benar-benar memperhatikan siapa lo dan semua orang di sini punya urusan mereka sendiri, maka kejelasan karakter sangatlah diperlukan. Oleh karena itu, saat lo menampilkan karakter sanguinis-koleris, jangan pernah berharap mereka memperlakukan lo sebagai melankolis, no one will do this for you. Tapi, meminta dan berharap orang lain untuk bersikap seperti yang lo mau adalah sia-sia jika keberadaan lo sendiri gak diterima. Meski hal itu bisa dicreate tapi kemungkinan berhasilnya gak bisa 100%, maka sediakanlah lubang untuk gagal. Tapi jangan kuatir, ada seorang bijak anonim yang bilang kegagalan adalah awal dari keberhasilan kalo lo mau uji coba mengcreate respon dengan mencipta simultan tertentu based on FOE (Field of Experience) dan FOR (Frame of reference) suatu objek mungkin suatu saat bisa terjadi. Atau lu bisa bersikap untuk menampilkan dan memperteguh bagaimana karakter yang ingin lo bangun, singkatnya hal ini disebut sebagai self branding tentu tidak diperlakukan seperti sebenarnya lo ingin diperlakukan adalah resiko yang harus diambil jika tujuan untuk bisa diterima lebih besar.

Mungkin ada yang pernah pula yang berujar, "udah yang terbaik jadi diri sendiri aja". Benarkah demikian? Menurut gw, at one point that was true, but not in every moment. Kenapa? Karena gak semua hal pada diri kita yang sebenarnya bisa dianggap baik dan bijak masih beberapa saat nafsu yang bicara. Pilihan hidup gak sesederhana baik dan buruk atau benar dan salah. Yusuf Qardhawi dalam bukunya fiqh negara menyampaikan bahwa "Bukanlah orang cerdas yang hanya tahu membedakan antara kebaikan dan kejahatan. tapi, orang yang cerdas adalah orang yang tahu membedakan antara yang lebih baik dari yang baik dan yang jahat dengan yang lebih jahat". Gw mengalami berkali-kali fase gak bisa membedakan baik dan buruk. Dalam artian yang sebenernya. Berkali-kali gw mengahadapi kondisi, benarkah ini baik? Benarkah ini buruk? Maka sampailah gw dalam masa keraguan yang membingungkan. Akibatnya, gw gak bisa bergerak, gak bisa berpikir... satu-satunya cara yang berhasil membangunkan gw adalah gw harus menemukan parameter baik dan buruk yang sebenarnya, yang paling tepat dengan tingkat presisi tinggi, dengan membaca, melihat, mendengar lebih banyak daripada orang lain, lebih teliti dari siapa pun.

Tapi, hidup gak semulus yang dibayangkan.... Jika simultan luar mampu membuatku diam, maka masalah internal berhasil membuat gw kacau balau... Berkali-kali... Aku kesal, kenapa aku bergitu lemah dihadapan banyak sekali hal... aku kesal, kenapa gw begitu gak berdaya... Aku kesal, kenapa karakter gw seperti gak mendapatkan tempat di manapun. Aku kesal kenapa gak ada yang bisa mengurai, sebenarnya gw harus kayak gimana, dan menjelaskannya... Aku kesal kenapa gak ada yang memberi saran gw harus apa dan bagaimana... Begitu banyak kekacauan, mungkin aku sendiri produk dari kekacauan.... Nyaris gw benci sama hidup ini kala itu.... Entah kemana karakter koleris gw pergi.... lama, gak kembali, hingga yang tersisa karakter sanguinis-melankolis dan satu-satunya hal yang kupercaya baik hanya tidak berbuat kerusakan dan memperlajari sudut pandang islam lebih banyak.

Memiliki karakter sanguinis-melankolis memang sangat menyenangkan, dicintai semua orang bisa memahami banyak sisi orang lain, dan dijadikan tempat curhat oleh banyak orang. Kadang dipercaya untuk mendapatkan secuplik cerita rahasia yang hanya sedikit orang yang tahu. Kemudian berusaha membantu mereka dengan memberikan beberapa sudut pandang tanpa menjudge, hingga akhirnya mereka dengan sadar memilih opsi-opsi penyelesaian masalah yang paling nyaman untuk mereka.

Tapi tahukah, karakter sanguinis-melankolis, sangat payah dalam menyelesaikan masalah diri sendiri, sangat repot. At the outside like nothing happened even beautifull life, but stormy inside. Ini masa tersulit dalam membangun diri gw sendiri, untuk melangkah demi diri gw sendiri. Hal yang gak pernah sebelumnya untuk gw pikirkan hingga akhirnya gw berada di ujung tanduk. Sangat menyakitkan mendapati air mata meleleh setiap akan tidur dan bangun tidur beberapa kali, tapi tangan tak bisa menari melakukan yang seharusnya, dan saat ketemu orang lain tanpa sadar kembali menjadi si santai sanguinis dengan segala imajinasi dan gurau candanya, lalu tiba-tiba hari telah berlalu, dan tak kudapati diriku sendiri berguna kala itu. Saat seperti ini hal yang makin membuatku gila adalah melihat tugas seperti siksaan, gak ada nyamannya sama sekali.

Kemudian sesekali merenung, sesekali mengikuti daurah, sesekali ditanya, akan menjadi apa nanti di masa depan?. Maka jawabku, itu hal yang paling sering aku pikirkan setiap harinya, tapi payahnya tak kutemukan juga jawabannya. Seperti nyaris aku tak tau apa potensiku, seperti nyaris merasa hidup gw gak berguna. Seperti seandainya gw gak paham bunuh diri bukan dosa dan gak pasti masuk neraka menjadi pilihan yang menarik untuk dicoba. Maka hiduplah gw seperti mayat hidup, melalui hari-hari tanpa makna, mencoba membantu yang bercerita tanpa tau apa gunanya buat diri sendiri, yang aku tau aku mengais-ngais sisa kemungkinan kebaikan yang masih mungkin untuk kulakukan bukan pekerjaan besar yang melalui proses manajemen sempurna dan memang kuinginkan.

Hingga akhirnya minggu-minggu ini aku menyerah tentang rencana esok hari, dan berdoa penuh harap kurang lebih seperti ini, "Kuserahkan masa depanku di tangan-Mu. Maka tuntunlah aku untuk menjalani hari menuju takdir baik-Mu, hingga aku mendapatinya sebagai takdir baik-Mu." Dan, entah bagaimana gw merasa sikap koleris gw terlahir kembali. Kecemasan melakukan kesalahan sedikit berkurang, gw bergerak sedikit lebih cepat dari biasanya, mungkin gak sepresisi di awal. Gw tau, resiko karakter sifat ini, tapi ini yang gw butuhkan sekarang. Jadi, sejak awal gw minta maaf kalo ada yang kena imbasnya, mungkin gw gak lucu lagi, gak nyantai lagi. Tapi gw masih berharap gw termasuk orang yang cerdas yang mampu membedakan mana yang lebih baik dari yang baik, dan mana yang lebih buruk dari yang buruk. Gw tau, hidup ini gak mungkin bisa menyenangkan semua pihak. Tapi gw akan mencoba untuk bisa menjadi lebih bijaksana, dengan memperkecil tingkat sakit hati, tingkat kemarahan, dst. Gw tau ada masa kemarahan gak bisa dihindarkan, tapi bisa di minimalisir, untuk itu gw harus terus mempelajari manusia, mempelajari dunia ini dengan segala isinya, mencari sudut pandang yang paling bijak. Maka, gw mulai mengumpulkan serpihan-serpihan cita-cita gw.

Dan mendapati bahwa, buat gw hampir semua masalah yang gw lihat di mulai dari kesalahan metode berpikir, dan kesalahan dalam merasakan. Semuanya dimulai dari kemalasan belajar dan konfirmasi. Maka, misi gw adalah memberikan sudut pandang yang terbaik dalam suatu permasalahan, menciptakan lingkungan positif dalam belajar buat semua kalangan. Beberapa saat yang lalu gw berpikir secara teknis, mungkin gw akan mengahabiskan waktu hidup gw untuk membangun masyarakat yang ibu rumah tangganya tercerdaskan dengan menyediakan waktu pagi gw, dan sore harinya untuk membangun kecerdasan spiritual dan emotional anak dengan pembelajaran keterampilan hingga spesialisasi teknis sebagai tambahannya. Hingga berkembang sebuah sekolah berbasis akidah, dan akhlak, dan mandiri secara ekonomi yang terintegrasi antara hubungan sekolah, orang tua dan anak, yang juga sebagai bagian dari masyarakat. Dengan demikian gw berharap, gw mampu mengurangi orang-orang bingung seperti diri gw dulu dan membangunnya menjadi hal yang luar biasa dan menghemat waktu karena mengalami sangat sedikit kebingungan sehingga hidup mereka lebih terarah sejak awal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar