Rabu, 20 Januari 2016

Ngapain sih membangun keluarga?


Bismillah, serem yak judulnya? Tenang, gw gak sedang membicarakan tentang seorang feminis gelombang 1 ataupun gelombang 2 yang merasa perempuan direndahkan oleh nilai dan norma masyarakat yang diwujudkan dalam pranata sosial. Duh, ngomong apa si gw? Wkwkwk.... Gini, gw sendiri termasuk seorang anak yang dibesarkan oleh budaya patriarki yang sangat kental, which means bahwa mau sekeren apa pun perempuan maka ia berkewajiban untuk bisa menjadi seorang ahli dalam 3 hal. Apakah hal itu? Yap, se-indonesia raya pasti tau tentang istilah sumur, dapur, kasur. Ada banyak kondisi dan masalah keluarga yang ada di Indonesia, bukan hanya masalah peran perempuan dalam porsi rumah tangga yang masih terus jadi perbincangan. Tapi, jauh sebelum itu terjadi, seharusnya ada pemahaman bersama tentang apa itu keluarga? Bagaimana tujuannya? Bagaimana hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga itu? dst....

Bagi seorang muslim, masalah keluarga ini mendapatkan lampu sorot yang sangat tajam, hingga nyaris bab keluarga menjadi salah satu bab yang mendapatkan penjelasan yang paling eksplisit dan jelas. Tengok saja, masalah nikah, aurat, waris, suami-istri, anak, dll. merupakan bagian dari ayat al Qur'an yang jelas dalam pemilihan katanya. Kenapa sih keluarga mendapatkan porsian sepenting itu?

Selain segala aturan syariat tersebut, dakwah kepada keluarga dekat merupakan pembuka dari pintu dakwah selanjutnya setelah mendakwahi diri sendiri maupun orang-orang kepercayaan kita. Melalui merekalah kemudian fase dakwah ditentukan. Dan sikap merekalah yang kemudian mampu menjadi penentu gerak dakwah seseorang, apakah kemudian keluarga dan kerabatnya memilih untuk jadi penghalang (seperti Abu Lahab bagi Muhammad saw), mengizinkan meski tidak mengimani (seperti Abu Thalib kepada Muhammad saw), ataupun menjadi pembela utama semacam Khadijah. Dari pranata sosial keluargalah kekuatan sosial seorang dai ditentukan. Seseorang yang dari keluarga yang kuat dan membela Islam tentu akan menjadi kekuatan dakwah yang hebat. Bahkan keluarga seperti inilah yang dicita-citakan Luth dalam menghadapi kaumnya.

Luth berkata, "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan  (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)." (Hud:80)

Juga yang membuat orang-orang kafir Madyan untuk enggan menyerang Nabi Syu'aib:

"Mereka berkata, 'Hai syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antar kami, kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa.'"

Dari sini kita tahu, betapa besar pengaruh sebuah keluarga terhadap kualitas sosial dari anggotanya. Maka, pemahaman yang benar mengenai tujuan sebuah keluarga mestilah dimiliki oleh setiap orang yang belum, maupun yang telah menikah. Sehingga, ikatan yang berlandaskan atas sumpah kepada Allah ini bukanlah sebuah seremonial formalitas belaka apalagi dianggap sebagai akhir cerita seorang pejuang di jalan Allah dan menganggap kehidupan setelah menikah adalah milik mereka berdua saja kemudian happy ending macem dongeng disney yang dikuatkan oleh film2drama. Apalagi pernikahan yang dasarnya cinta buta... Cinta macam begini seandainya menikah gw sering mendapatkan cerita bahwa meski awalnya tampak sangat bahagia bagai film drama korea, namun baru muncul konflik saat terjadi masalah diantara salah satunya. Kemudian yang jadi pertimbangan biasanya adalah rasa gak enak ataupun takut ditinggalkan pasangan. Cinta yang macam ini sama sekali gak akan mampu untuk mengembangkan potensi semua anggota keluarga. Atau bahkan cintanya hanyalah semu belaka, imajinasi, dan jauh berbeda dengan bayangan sebelum menikah.

Maka, sebuah pernikahan yang merupakan setengah dari agama itu, tentunya harus membawa kepada tujuan agama kita, islam (selamat). Sebuah keluarga yang kokoh akarnya yaitu dijalankan atas dasar ibadah kepada Allah, mestilah punya cita-cita yang menjulang ke langit untuk kemudian bersama-sama menggapai ridha Allah. Maka jika sudah demikian, setiap anggota keluarga tahu dengan jelas apa yang dituju, dan bersama-sama saling menguatkan dengan segala upaya agar mencapai tujuan tersebut. Dr. Abdurahman Al Mursy Ramadhan juga mengatakan dalam karyanya Manhaj Ishlah bahwa, "Keluarga merupakan bagian dasar dari struktur bangunan masyarakat dan perbaikannya. Tidak hanya karena peran rumah tangga dan bagaimana seseorang mendukung proyek dakwah, tapi juga karena keluarga merupakan batu pijakan dasar yang orisinil yang tidak ada gantinya dalam membangun sebuah masyarakat, di mana masyarakat tidak akan baik kecuali dengan baiknya keluarga. Tidak pernah tergambar bahwa terdapat sebuah masyarakat muslim yang mulia yang menegakkan prinsip-prinsip islam, sementara rumah tangganya lemah, dan fondasi serta corak kehidupannya jauh dari manhaj Allah.

Dan meski cinta macam ini makin jarang dan sulit kita temui di hari ini, nyatanya masih ada saja yang memperjuangkannya. Tak hanya itu, bahkan ada sebuah kisah nyata yang punya sudut pandang yang gak biasa tentang dakwah, kualitas diri, dan keluarga. Read this out gan! kualitas-cinta-zainab-al-ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar